Three Sided Mirror. First Side; Jevin Wirayudha
Pada umumnya sekolah bagus berada di pusat kota yang ramai penduduk, dengan fasilitas lengkap memadai. Para calon murid tentu berlomba lomba untuk masuk ke sekolah tersebut, belajar mati matian, begadang, mereka punya motivasi masing masing untuk setidaknya mendapatkan kursi di sekolah ternama. Ada yang betul betul berniat menuntut ilmu, ada pula yang hanya mengejar gengsi. Yang pasti bukan hal yang bisa 'relate' di kepala Jevin Wirayudha.
Menurut Jevin, sekolah dimanapun sama saja, sama sama diisi oleh kegiatan belajar. Di mana pun dia belajar tidak merubah fakta bahwa dia hanya siswa bodoh tanpa masa depan. Dia tidak pernah berpikir untuk masuk sekolah elite yang dimimpikan teman temannya, menurutnya selain biayanya yang mahal, berada di sana hanya akan membuatnya terlihat seperti onggokan sampah yang terdampar di bibir pantai. Tempat seperti itu bukanlah tempatnya.
Di tahun terakhirnya di SMP Jevin hampir menyerah tentang mimpinya, masa depannya, dia bahkan bilang tidak akan melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah Atas dan berpikir untuk mulai bekerja jadi kuli atau apalah, yang dia pikirkan kala itu adalah bekerja dan menghasilkan uang, meski pekerjaan kecil sekalipun. Namun mama mentah-mentah menolak, dia mengancam Jevin akan mencoret namanya dari kartu keluarga. Jevin tahu beliau tidak akan melakukan hal itu, jadi dia hanya tertawa sambil mengatakan kalau orang sepertinya tidak punya banyak hal untuk dilakukan, meski melanjutkan ke perguruan tinggi sekalipun. Karena di pikiran Jevin, itu semua mustahil.
Mama berhenti mengomel dengan suara melengkingnya, namun beliau menatap mata Jevin lekat, itu membuat Jevin gugup. Mama juga memegang kedua bahu Jevin dan bilang kalau Jevin harus meneruskan pendidikannya, mama bilang Jevin tidak seharusnya berakhir menjadi petani, tidak menjadi kuli. Jevin harus menjadi lebih baik dari kedua orang tuanya.
Jevin tersenyum miris, mimpi mamanya untuk melihatnya sukses tampaknya hanya akan jadi angan angan belaka, dia pula sudah menyerah untuk cita citanya ketika hasil kelulusan mereka diumumkan. tidak banyak yang bisa dilakukan oleh orang sepertinya, tidak dengan peringkat tiga terbawah.
Jevin tidak menanggapi omongan mamanya, jevin hanya memegang tangan mama di pundaknya, lalu mengatakan "kok nggak kayak biasa, mak? Aneh liatnya." Kemudian dia terkekeh.
Biasanya mama akan mengeluarkan kata kata pedasnya atau bahkan menjewer telinga Jevin ketika anak itu ketahuan meledeknya. Namun sekarang reaksi beliau berbeda, beliau meremas kaos yang dikenakan Jevin dengan posisi kepala menunduk. Jevin bingung, tidak pernah melihat mamanya seperti itu.
"Mak?" panggilnya, namun mama tidak menyahut selama beberapa detik dalam posisi yang sama.
"Jevin" ketika mama mengangkat kepalanya, Jevin terpaku, melihat mata mamanya yang berkaca kaca.
"emang kamu itu anaknya males, kamu nakal, kamu bodoh, pernah kamu bikin Emak bangga?" dengan mata berlinang air mata, mama menatap Jevin; meminta jawaban.
Pula Jevin, anak itu terdiam dan menunduk. "enggak mak, Jevin ga pernah bikin Emak bangga. Jevin emang bego, ga pernah dengerin kata orang tua."
Mama tertawa renyah, masih dengan air mata mengalir di kedua belah matanya "Iya, kamu emang gitu anaknya. Kamu nggak perlu bikin emak bangga, cukup jadi Jevin anak kesayangan mama yang biasanya. Kamu nggak perlu jadi juara kelas, kamu juga nggak perlu jadi orang besar suatu hari nanti. Di mana pun kamu berakhir nanti, emak sama bapak bakal selalu dukung Jevin. Kita selalu pengen yang terbaik buat Jevin, Bapak kerja buat uang sekolah kamu, emangnya kamu mau ngecewain bapak?"
Benar, selama ini Jevin tidak pernah bikin orang tuanya bangga, Jevin selalu jadi anak terbodoh di kelas, Jevin itu anak nakal, tidak ada yang mau berteman dengan dirinya, namun di lain sisi, dia masih mempunyai keluarga yang amat mencintainya. Jika Jevin tidak pernah bikin orang tuanya bangga, setidaknya Jevin tidak boleh membuat keduanya kecewa.
Hingga sekarang, hal itulah yang memotivasi Jevin untuk melanjutkan pendidikannya. Dia tidak ingin lagi melihat mamanya menangis, dia tidak ingin usaha papanya selama ini sia sia. Itu juga alasan mengapa dia berada di sini, di sekolah yang tak seberapa terkenal, bukan sekolah elit di pusat kota, bukan sekolah yang diimpikan teman temannya. hanya sekolah biasa di pedesaan, sekolah yang tidak memakan banyak biaya. Sekolah kejuruan yang Jevin pilih, dia tidak ingin membebankan orang tuanya lebih lama.
Penulis: Saidatun Najmi
Sumber Foto: Pinterest
Tidak ada komentar