Pembulian di Dunia Kampus: Ketika Status Sosial Menjadi Alat Penindasan
Dunia kampus seharusnya menjadi arena bagi mahasiswa untuk belajar, bertumbuh, dan menge-ksplorasi potensi diri. Namun, dalam beberapa kasus, kampus justru menjadi medan persaingan status sosial yang tidak sehat. Mahasiswa dengan status sosial lebih tinggi baik karena latar belakang ekonomi, popularitas, maupun jabatan di organisasi sering kali menggunakan keunggulan tersebut untuk mendominasi atau bahkan menindas mahasiswa lain.
Fenomena ini tidak hanya merugikan korban secara psikologis, tetapi juga merusak tatanan kampus sebagai komunitas yang seharusnya egaliter dan inklusif. Apa yang memicu fenomena ini, dan bagaimana kita dapat menghentikannya?
Status Sosial Sebagai Instrumen Kekuasaan
Di kampus, status sosial sering kali didefinisikan oleh berbagai faktor, mulai dari kemampuan finansial, penampilan, koneksi sosial, atau jabatan dalam organisasi. Individu dengan keunggulan di salah satu atau beberapa aspek ini cenderung memperoleh pengaruh lebih besar. Sayangnya, beberapa mahasiswa menggunakan posisi tersebut untuk menekan orang lain, baik melalui perilaku langsung seperti penghinaan dan intimidasi, maupun secara tidak langsung seperti mengucilkan korban dari kelompok tertentu.
Pembulian berbasis status sosial ini dapat terjadi di banyak ruang, seperti organisasi kemahasiswaan, asrama, hingga media sosial. Korban sering kali merasa tak berdaya karena khawatir bahwa melawan pelaku hanya akan memperburuk situasi atau mengucilkan mereka lebih jauh.
Dampak Buruk bagi Korban dan Kampus
Bagi korban, pembulian ini bisa menghancurkan kepercayaan diri, menciptakan stres berkepanjangan, dan mengganggu prestasi akademik. Tidak sedikit korban yang akhirnya memilih untuk menarik diri dari pergaulan, pindah kampus, atau bahkan menghentikan pendidikan.
Bagi kampus, dampak ini menciptakan lingkungan yang tidak kondusif. Ketika pembulian dibiarkan terjadi, kampus kehilangan citra sebagai tempat yang aman dan inklusif. Dalam jangka panjang, budaya ini dapat melemahkan rasa solidaritas dan kebersamaan di antara mahasiswa.
Mengapa Pembulian Berbasis Status Sosial Terjadi?
Ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya pembulian berbasis status sosial di kampus:
- Kurangnya Kesadaran akan Egalitarianisme: Beberapa mahasiswa menganggap hierarki sosial sebagai sesuatu yang wajar dan bahkan memanfaatkan posisi mereka untuk menindas.
- Persaingan dan Tekanan Sosial: Kampus sering kali menjadi tempat persaingan ketat, baik untuk prestasi akademik maupun pengakuan sosial. Persaingan ini mendorong sebagian individu untuk menjatuhkan orang lain demi mempertahankan posisi mereka.
- Minimnya Pengawasan dan Kebijakan: Tidak semua kampus memiliki aturan tegas atau mekanisme pelaporan yang efektif untuk menangani kasus bullying.
Solusi Mengembalikan Kampus Sebagai Tempat yang Egaliter
Untuk menghentikan pembulian berbasis status sosial, dibutuhkan langkah nyata dari berbagai pihak:
- Edukasi tentang Kesetaraan: Kampus perlu mengedukasi mahasiswa tentang pentingnya menghormati perbedaan dan menanamkan nilai egalitarianisme melalui orientasi, seminar, atau mata kuliah khusus.
- Mekanisme Pelaporan yang Aman: Korban harus memiliki saluran aman untuk melaporkan kasus tanpa takut akan pembalasan.
- Sanksi Tegas bagi Pelaku: Kampus harus berkomitmen untuk memberikan sanksi yang jelas dan tegas kepada pelaku bullying, sekaligus menawarkan rehabilitasi bagi mereka.
- Dukungan Psikologis bagi Korban: Korban memerlukan akses ke layanan konseling yang mudah dan gratis untuk memulihkan kepercayaan diri mereka.
- Keterlibatan Organisasi Mahasiswa: Organisasi kemahasiswaan dapat menjadi garda depan dalam menciptakan budaya anti-bullying dengan menginisiasi kampanye kesetaraan.
Kesimpulan, pembulian berbasis status sosial di dunia kampus adalah ancaman serius yang merusak lingkungan akademik. Jika tidak ditangani, fenomena ini dapat terus berulang dan menciptakan generasi mahasiswa yang tidak peka terhadap nilai-nilai keadilan dan empati.
Membangun kampus yang benar-benar inklusif membutuhkan upaya kolektif. Mahasiswa, dosen, dan pengelola kampus harus bekerja sama untuk menciptakan lingkungan di mana setiap individu merasa dihargai tanpa memandang status sosial. Hanya dengan cara ini, kampus dapat menjadi tempat belajar yang aman, adil, dan mendukung potensi semua mahasiswa.
Penulis: Rabiatul
Pembulian di Dunia Kampus: Ketika Status Sosial Menjadi Alat Penindasan
Reviewed by LPM Lensa Poliban
on
Kamis, Januari 02, 2025
Rating:

Tidak ada komentar